REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Fakhruddin
"Negaraku
Tanah tumpahnya darahku,
Rakyat hidup
bersatu dan maju,"
Sepenggal bait lagu kebangsaan Malaysia,Negaraku, dengan fasih dilantunkan Susan, siswa kelas 5 SD di Lubuk Antu, Serawak, Malaysia. Kendati lahir di Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Susan tidak pernah mengeyam bangku pendidikan di Indonesia.
Meski jarak sekolah dasar di Kecamatan Badau hanya sekitar 500 meter dari rumahnya, orangtua Susan lebih memilih menyekolahkan anaknya di Lubuk Antu, Serawak, Malaysia.
Karena itu, Susan lebih hafal dengan lagu yang nadanya persis dengan lagu Indonesia berjudul Terang Bulan ini, ketimbang lagu kebangsaan Indonesia Raya.
"Tidak bisa," kata Susan kepada Republika ketika diminta menyanyikan laguIndonesia Raya.
Agar bisa bersekolah di Malaysia, Susan memiliki bapak angkat yang berkewarganegaraan Malaysia. Bapak angkat itu juga sekaligus wali murid di sekolah Susan.
Masyarakat di Kecamatan Badau dan Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu memang memiliki kebiasaan menyekolahkan anaknya di Malaysia. Anak-anak di dua kecamatan yang berbatasan langsung dengan Serawak Malaysia dapat dengan mudah bersekolah di Malaysia apabila memiliki akte kelahiran Malaysia.
Mereka mudah mendapatkan akta kelahiran Malaysia, karena sejak dalam kadungan, ibunya selalu memeriksakan kehamilan dan melakukan persalinan di rumah sakit Malaysia. Hal ini, karena fasilitas kesehatan di perbatasan Malaysia lebih memadai ketimbang di daerahnya.
Setelah bersalin di Malaysia, otomatis anak yang dilahirkan tersebut mendapatkan akta kelahiran Malaysia. Nantinya, mereka mendapat kesempatan untuk mengeyam pendidikan di Malaysia secara gratis.
Bagi anak tersebut berprestasi, orang tuanya akan ditawarkan agar mengijinkan anaknya menjadi warga Malaysia. Apabila orang tuanya mengijinkan maka akan diurus surat-suratnya. Sehingga resmi jadi warga negara Malaysia dan difasilitasi sampai bekerja. Namun sebaliknya, anak yang tidak berprestasi akan dikembalikan kepada orang tuanya.
Orang tua di kedua kecamatan tersebut lebih memilih anaknya sekolah di Malaysia karena kondisi pendidikan di Kecamatan Puring Kencana secara umum masih memprihatinkan. Baik dari segi kualitas dan kuantitas, maupun penyelenggaraannya.
Kondisi ini diperparah dengan masih adanya oknum tenaga pendidik yang kurang disiplin, malas mengajar, dan kerap membolos dengan berbagai macam alasan. Oknum tersebut lebih mementingkan bisnis pribadi ketimbang memajukan mutu pendidikan di sekolahnya. Banyak ruang kelas kosong di saat jam pelajaran akibat mental guru yang sepertinya kurang siap menerima penugasan di wilayah perbatasan.
Hal ini telah menjadi pertimbangan/penilaian tersendiri bagi para orang tua untuk memilih menyekolahkan anak di negeri orang dengan harapan anaknya akan berhasil dan lebih baik, meskipun bertentangan dengan hati nurani mereka.
Karena itu, setiap sekolah dasar di hampir seluruh dusun di Kecamatan Puring Kencana selalu kekurangan murid. Jumlah murid sekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 6 di setiap sekolah hanya berkisar 12 anak. Kecuali, di SD Sungai Antu yang jumlah siswanya mencapai 40 orang.
Kondisi serupa juga terjadi di jenjang pendidikan selanjutnya. Hanya ada satu SMP di Kecamatan Puring Kencana. Itu pun dengan jumlah murid hanya mencapai 24 siswa dari kelas 8 sampai 10. Terdapat sekitar 113 anak dari 245 anak usia sekolah tingkat SMP di Kecamatan Puring Kencana yang bersekolah di Malaysia.
Faktor pembiayaan juga menjadi pertimbangan orang tua murid untuk menyekolahkan anaknya di Malaysia. Sebab, hampir seluruh kebutuhan siswa yang sekolah di sana ditanggung oleh Pemerintah Malaysia. Mulai dari biaya pendidikan, asrama, hingga pemenuhan fasilitas untuk menyalurkan bakat dan minat siswa.
Kepala Sekolah SMA 1 Badau, Ishak Fatarik Darmawan, mengatakan siswa di sekolah Malaysia dimanjakan dari segi fasilitas. Ishak mengakui fasilitas sekolah yang ada di perbatasan Malaysia lebih unggul ketimbang fasilitas sekolah yang ada di perbatasan Indonesia.
Bahkan, kata Ishak, ada upaya dari Pemerintah Malaysia untuk membagikan laptop kepada setiap siswa. "Kalau di sini jangankan laptop, mungkin kalkulator juga tidak punya. Itulah salah satu permasalahan di sini," kata Ishak yang pernah melakukan studi banding ke sekolah di Malaysia tahun lalu ini.
Menurut Ishak, fasilitas dan layanan pendidikan yang diberikan di sekolah Malaysia itu diberikan secara cuma-cuma. Siswa yang bersekolah di sana wajib tinggal di asrama. Kebutuhan siswa selama tinggal di sana juga dipenuhi secara gratis, mulai dari buku hingga makan siswa.
Karena tergiur oleh segala kemudahan tersebut banyak orang tua di daerah perbatasan yang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di Malaysia, dengan berbagai cara. Mulai dari menitipkan anaknya pada keluarga dan kerabat di sana, mencari penjamin yang bisa dijadikan orang tua angkat, hingga kewarganegaraan ganda.
"Orang tua disini banyak yang dua kewarganegaraan," ungkap Ishak.
Orang tua yang anaknya bersekolah di Malaysia mengaku bangga menyekolahkan anaknya di sana. Selain gratis, peluang untuk mendapatkan pekerjaan di negeri jiran setamat sekolah lebih besar. Karena itu, Warga Kecamatan Badau dan Kecamatan Puring Kencana lebih berharap jalan menuju Malaysia diperbanyak dan akses keluar-masuk ke Malaysia dipermudah. Ketimbang, memperbaiki akses jalan menuju Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu, Futussibau.
Mereka juga berharap, anak yang sekolah di Malaysia tidak dikenakan sanksi berupa pinalti untuk mengulang pelajaran setelah kembali meneruskan bersekolah di Indonesia.
"Sehingga anak tersebut bisa langsung melanjutkan sekolah sesuai apa yang telah mereka capai selama sekolah di luar negeri," kata Edy, warga Sungai Antu, Kecamatan Puring Kencana yang dua dari anaknya bersekolah di Malaysia.